Kota Bima,- Lembaga Pengembangan Partisipasi Demokrasi dan Ekonomi Rakyat (LP2DER) bekerjasama dengan Australian AID dan OXFAM menggelar kegiatan Closing Program LP2DER Indonesia Climate And Disaster Resilience Communitas (ICRDC) tingkat daerah.
Kegiatan yang diselenggarakan Kamis (08/06) pagi hingga sore hari tersebut, diikuti sejumlah delegasi instansi pemerintah Kota maupun kabupaten Bima, KPH Maria Donggomasa, BMKG Bima, delegasi kampus di Kota dan Kabupaten Bima, masyarakat maupun kelompok masyarakat yang menjadi mitra atau binaan LP2DER selama program ini berlangsung.
Ada dua sesi acara yang dilangsung pada kegiatan tersebut. Sesi pertama berupa pemaparan materi perubahan iklim dan internalisasi program LP2DER yang disampaikan oleh BMKG Bima, Bappeda Kota Bima dan Bappeda Kabupaten Bima. Sesi kedua tentang testimoni pencapaian program dan harapan untuk LP2DER dari peserta yang merupakan mitra kerja dan binaan program LP2DER Bima.
Mengawali pemaparan sesi pertama, Laksita Widomurti, S.Tr, PMG Pertama BMKG Bima, menyampaikan sejumlah aspek yang bisa mempengaruhi perubahan iklim dunia. Dalam pemaparannya Laksita mengemukakan beberapa data terkait kebencanaan yang terjadi di Bima dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Menurut data yang disampaikan, ternyata banjir yang terjadi di Kota maupun Kabupaten Bima selama ini bukan disebabkan tingginya intensitas hujan sebagaimana yang dipahami sebagian masyarakat kita. Karena pada faktanya, curah hujan yang terjadi di Bima dalam kurun waktu tersebut masih dikategorikan sebagai hujan dengan intensitas sedang, bukan intensitas tinggi. Namun demikian, dengan hujan berintensitas sedang yang berlangsung lebih dari 3 jam saja, telah mampu mendatangkan bencana banjir bagi Kota maupun Kabupaten Bima.
"Dengan data tersebut maka curah hujan bukanlah faktor utama penyebab terjadi banjir di Kota maupun Kabupaten Bima", tegas Laksita.
Fakta ini cukup menghawatirkan menurut Laksita. Apalagi dalam kurun waktu dua musim ini terjadi perubahan intensitas banjir yang tidak lagi menunggu hujan 3 jam lebih untuk mendatangkan banjir, dengan hujan kurang dari 3 jam saja sejumlah wilayah sudah bisa terendam banjir. jika sebelumnya masyarakat Kota Bima menjadikan hujan di Wawo sebagai patokan apakah Kota Bima akan banjir atau tidak, saat ini hujan lokal yang terjadi di wilayah Kota Bima saja sudah bisa menimbulkan banjir walau dalam skala yang tidak terlalu besar.
"Artinya ini ada faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya banjir dan itu bukan faktor intensitas curah hujan" tegas Laksita.
"Selain banjir, ancaman lain yang akan menghantui Bima adalah masalah kekeringan", ungkap Laksita.
Senada dengan Laksita, data yang disampaikan Arif Roasman Efendi, ST, MT, M.Si, Sekretaris Bappeda Kota Bima, kembali membuat peserta kegiatan tercengang. Menurutnya, saat ini perembesan air laut ke daratan Kota Bima (intrusi), sudah mencapai Kelurahan Penatoi. Perembesan itu ditandai dengan perubahan rasa air bor permukaan atau sumur, yang semula tawar dan segar berubah menjadi tidak segar bahkan terasa agak payau.
"Beberapa tahum lalu hanya sampai Kelurahan Sadia, tapi kini sudah sampai Kelurahan Penatoi", ungkap Arif.
Indikasi lain adanya intrusi meluas di Kota Bima juga terlihat dari usulan kegiatan tiap kecamatan, dimana hampir tiap kecamatan mengusulkan adanya kegiatan pengeboran dalam disejumlah wilayah.
"Ini mengindikasikan, ada masalah dengan air permukaan kita" lanjut Arif.
Nuzulul Rahmah, ST, mewakili Kepala Bappeda Kabupaten Bima, menyampaikan bahwa perubahan pemanfaatan lahan dimungkinkan menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan interaksi alam dengan lingkungan hidup manusia.
Ironinya, ketika terjadi permasalahan seperti diatas, maka solusi-solusi jangka pendek kerap menjadi pilihan solusi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.
Kegiatan yang dipandu oleh Dr. Taufik Firmanto, SH, MH tersebut sangat dinamis. Sejumlah tanggapan, usulan bahkan curhatan dari peserta seakan membangun kesadaran bersama bahwa issue perubahan iklim dan lingkungan hidup harus terus digaungkan dan dicarikan solusi bersama. Fakta-fakta lain seperti pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat, perkembangan penduduk yang disertai meningkatnya tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup yang layak, serta kebijakan yang cenderung politis dan birokratis juga mengemuka dalam forum sebagai permasalah lain yang berbanding lurus dengan permasalahan lingkungan hidup yang ada.
Oleh karenanya, disesi kedua usai makan siang, para peserta coba memberi beberapa pandangan solutif walau butuh kajian lebih dalam lagi akan efektifitasnya. Seperti yang disampaikan salah satu peserta penggiat UMKM, bahwa Lere bisa dijadikan alternatif pengganti jagung jika dimungkinkan secara ekonomis. Penggiat UMKM lain coba menawarkan tanaman kopi sebagai altenatif lain pengganti tanaman jagung, karena kopi dianggap memikiki nilai ekonomis tinggi dan bisa hidup berdampingan dengan tanaman ekonomis lain yang lebih besar. Ada juga yang mengemukakan usulan lain yang dianggap bisa mengembalikan fungsi lahan sebagai penyangga dan juga tetap memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan.
Dengan makin banyaknya permasalahan dan solusi yang ditawarkan, beberapa peserta berharap agar LP2DER tetap bisa menginisiasi program mitigasi bencana berbasis kerakyatan dengan pola kelembagaan seperti ini. Karena tidak semua hal harus diinisiasi dan dilakukan oleh pemerintah. (Red)